BERTEMU GURU ROSYAD & GURU SEKUMPUL
Dengan masih terheran-heran, saya memandang ke arah laut. Seiring waktu, saya pun masuk ke tenda dan merebahkan diri dan akhirnya tertidur. Pukul enam pagi saya bangun dari pembaringan dan ingin melihat keadaan pantai di mana saya bersama seorang kakek misterius terlibat dialog yang masih segar di ingatan.
Saya perhatikan, memang masih ada jejak sepatu saya di pantai. Bahkan, meski ombak beberapa kali menghantam pantai, jejak kaki saya masih ada. Saya kenal betul bagaimana tapak sepatu saya.
Sepulang dari Takisung itu lah, pikirannya saya mulai berkecamuk. Keimanan saya kepada ajaran Kristen sedikit demi sedikit mulai luntur.
Di tengah berkecamuknya pikiran apakah akan pindah agama atau tetap dalam kepercayaan lama, bahkan sempat terlibat perang Sampit, saya (Hendra) kebetulan punya kenalan yang masih keluarga dari Guru Rosyad. Dari sini saya punya keinginan untuk mempelajari Islam sedikit demi sedikit.
(Guru Rosyad atau KH Muhammad Rosyad adalah salah satu ulama besar & berpengaruh di Martapura selain Abah Guru Sekumpul. Sehari-harinya beliau adalah pengajar di Pondok Pesantren ternama di Kalsel, Ponpes Darussalam Martapura. beliau juga dikenal sebagai nazir masjid tertua di Kota Martapura, Masjid Al Karomah. Beliau dikenal karena ketinggian ilmunya dalam bidang tafsir Alquran. Guru Rosyad berasal dari keluarga ulama di Desa Tunggul Irang – sekarang Desa Murung Kenanga Martapura – dari kakek, ayah hingga saudara-saudaranya. Kakeknya KH Abdurahman, ayah beliau KH Muhammad Zaini, seorang mufti di Martapura, berlanjut kepada dua kakak beliau KH Husin Qodri dan KH Badruddin – Guru Ibad).
Namun, oleh karena Guru Rosyad sakit-sakitan, beliau menyarankan agar saya masuk Islam dengan bimbingan Abah Guru Sekumpul (Al Allimul Allamah Al Arifbillah KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghoni Al Banjari). Diantar Guru Rosyad dan menantunya, saya menghadap Abah Guru Sekumpul, di rumah beliau, komplek pengajian Sekumpul, Martapura, sekitar tahun 2001.

Begitu melihat saya, Abah Guru Sekumpul berkata, “Masih saja kah mencium secara tajam?”
Saya kaget karena beliau langsung tahu kalau saya bisa mencium aroma suku tertentu. “Inggih,” kata saya.
“Ibarat kebun binatang, perut kamu berkumpul banyak binatang,” lanjut Abah Guru Sekumpul. Dan memang, karena saya bersuku Dayak, dan masih bercampur dengan kepercayaan Kaharingan, ajian atau untalan apa saja sudah pernah masuk ke dalam perut saya.
“Kalau ingin berislam, kamu mesti dibersihkan dahulu,” kata Abah Guru Sekumpul.
Saya manut saja, ketika beliau menyuruh saya mengambil air minum di dapur. Beliau menyuruh saya meminum air tersebut dan beliau lalu menepuk pundak saya. Seketika saya merasa mulas dan muntah-muntah. Ada banyak kotoran hitam yang keluar dari mulut saya, sekira-kira satu mangkok ukuran sedang.
Lanjutkan membaca …. JADI MUALAF DIBIMBING GURU SEKUMPUL