MENEMBUS BARIKADE JEPANG TANPA TERLIHAT
Sekitar dua minggu setelah kelahiran Putra pertama , sang bayi mungil yang diberi nama Muhammad Qusyairi, Abdul Ghani (ayah Abah Guru Sekumpul) berkeinginan memboyong kembali keluarganya ke kampung asalnya di Keraton Martapura, kurang lebih satu kilometer dari Desa Tunggul Irang Seberang.
Keraton yang telah ditinggalkan berbulan bulan, menyirat kerinduan Abdul Ghani terhadap kampung kelahirannya. Ini kampung yang sesungguhnya sangat damai dan tenang. Namun kedatangan tentara kolonial Dai Nippon atau tentara Jepang lah yang membuat Abdul Ghani dan keluarganya harus meninggalkan Keraton dan mengungsi ke rumah Paman Abdullah, di Tunggul Irang.
Malam itu terasa amat mencekam. Informasi yang sampai ke telinga keluarga Abdul Ghani, menyatakan bahwa kota Martapura malam itu dijaga ketat tentara Jepang, beberapa ruas jalan diblokir. Lebih dari itu mereka juga memberlakukan jam malam, mengultimatum warga agar jangan keluar malam hari. Siapapun yang melanggar akan tembak di tempat.

Namun tekad dan niat bulat Abdul Ghani seakan membuyarkan semua itu. Apalagi untuk menuju kampung Keraton, ia sekeluarga menggunakan mobil butut atau mobil jamban milik seseorang. Mobil dikemudikan Habib Hasan, seorang Sayyid yang tinggal di Tunggul Irang. Meski diliputi rasa khawatir, namun Abdul Ghani dan keluarga kecilnya merasa tenang dengan bekal doa dan restu Tuan Guru H Adu.
Sesampai di kota Martapura, nampak ketatnya barikade dan penjagaan tentara Jepang. Tentara bermata sipit itu terlihat siaga memantau keadaan, segala akses jalan seakan tidak bisa ditembus. Jalan-jalan tampak lengang Tidak seorang pun penduduk Martapura yang berani melanggar ultimatum. Siapapun tahu, tentara Jepang tidak main main.
Sementara itu, mobil yang ditumpangi keluarga Abdul Ghani pun terus meluncur, tanpa memperdulikan penjagaan ketat itu. Semua wajah di mobil tegang, khawatir jika sewaktu-waktu disetop Jepang. Namun keajaiban terjadi, barisan tentara Jepang itu sama sekali tidak memperdulikan mobil Abdul Ghani lewat. Barikade tentara Jepang itu pun bisa dilewati tanpa insiden. Dan Abdul Ghani pun bisa bernapas lega hingga tiba di kampung Keraton.
Mungkin yang sangat berkesan justru masyarakat Desa Tunggul Irang Seberang itu sendiri. Bahwa desa mereka ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Kuasa menjadi persada bagi kelahiran seorang putra yang mereka kenal dari kalangan keluarga yang sangat sederhana namun bermartabat serta berbudi. Sebagaimana masyarakat Islam, baik di dalam maupun di luar negeri mengenalnya di kemudian hari sebagai “Al al-‘Alimul ‘Allamah Al ‘Arif billah As Syeikh Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani” dari Martapura. (ayooha.com)
Sumber tulisan : Buku : 100 Karamah dan Kemuliaan Abah Guru Sekumpul (oleh KH M Anshary El Kariem).
Dengan sedikit editing & pengayaan dari admin.