GURU SEKUMPUL GAGAL KE MUKTAMAR NU
Pak Harto konon sangat marah kepada Gus Dur. Beberapa kali Gus Dur hendak mengajukan sowan untuk melaporkan rencana pelaksanaan muktamar sekaligus meminta kepada Pak Harto untuk membuka, selalu ditolak.
Kala itu Pak Harto sudah tidak ingin Gus Dur jadi ketua umum lagi. Karena ITU, ‘perintah alus’-nya –suatu istilah era kolonial yang menunjukkan ketidakinginan pemerintah kepada suatu figur duduk dalam sebuah organisasi– melalui aparat militer dan birokrasi berbagai cara dilakukan untuk menjegal Gus Dur. Bahkan ketika menabuh gong untuk membuka muktamar, Pak Harto sama sekali tidak menyapa dan hanya membelakangi Gus Dur. “Dinengke” dan “ra dianggap”, istilah Jawanya, suatu simbol politik khas Jawa yang sangat keras.
Muktamar terpanas dalam Sejarah NU, dan politik masyarakat sipil Indonesia di ujung Orde Baru itu berlangsung dengan keras dan berakhir dramatis dengan terpilihnya kembali Gus Dur sebagai ketua PBNU. Gus Dur hanya memenangkan 3 suara dengan pesaingnya, sosok yang sama sekali tak dikenal, Hasan Syazili.
Tapi poinnya bukan itu. Pada Muktamar NU 1994 itu, saya –yang merupakan peserta ‘romli’ (rombongan liar) bertemu dengan senior Dr. Humaidi Abdussami, dosen IAIN (sekarang UIN) Antasari, Banjarmasin, yang datang sebagai peserta muktamar dari NU Kalimantan Selatan. Ia bercerita bahwa sebenarnya Guru Sekumpul ingin datang ke Muktamar ini. Dalam pengajian minggu sebelumnya beliau bilang minggu ini pengajian libur karena ingin menghadiri muktamar atas undangan Gus Dur. Sayang sekali, lanjut Humaidi, pada hari “H’ muktamar, Guru Sekumpul sakit, sehingga beliau batal hadir.
Saya tidak tahu apakah waktu ngobrol di mobil dan bertanya tentang ulama di Kalimantan Selatan beberapa bulan sebelumnya itu Gus Dur memang belum tahu dan tidak pernah mendengar nama Guru Sekumpul. Apakah beliau hanya ingin menguji pengetahuan saya saja? Atau hanya sekadar untuk mengonfirmasi dan mencocokkan informasi yang sudah dimiliki sebelumnya mengenai Guru Sekumpul. Entahlah. Yang jelas, seperti cerita Dr. Humaidi Abdussami di atas, Guru Sekumpul berniat datang ke muktamar atas undangan Gus Dur, meski kemudian batal karena berhalangan.
Terlepas dari ketidakdatangan beliau, di dalam kepengurusan NU kemudian nama Guru Sekumpul dengan nama resmi KH Muhammad Zaini Abdul Ghoni, tercantum sebagai salah satu dari 9 anggota mustasyar PBNU perode 1994-1999. Mustasyar artinya penasehat. Mustasyar atau Dewan Penasehat ini berada di strata paling tinggi dalam struktur kepengurusan NU.
Mustasyar memang dari segi praktik lebih merupakan daftar nama. Tidak ada tugas organisasi yang harus diemban. Tetapi dari segi makna, mustasyar menunjukkan pengakuan tinggi organisasi ini pada sosok ulama sebagai garda pengawal organisasi ini. Ulama merupakan simbol organisasi ini.
Nama Guru sekumpul sebagai mustasyar itu bermakna lebih penting lagi mengingat setelah muktamar itu, NU terseret konflik antara kubu Gus Dur dan Abu Hasan yang kemudian membuat “NU Tandingan”. Kebetulan NU Kalimantan Selatan berada di kubu yang berseberangan dengan Gus Dur. Namun penentangan terhadap Gus Dur dari Kalimantan Selatan ini tidak begitu keras karena ada nama Guru Sekumpul dalam barisan Mustasyar, meski Guru Sekumpul sendiri tidak turut campur sama sekali. (Kelak sebelum Abu Hasan dan Gus Dur meninggal, keduanya bertemu, islah, dan saling memaafkan. Perbedaan pandangan politik adalah satu hal, persaudaraan adalah hal lain.)
Ketika tahun 2012 saya turut diajak menjadi salah seorang tim penulis dan penyunting Eksiklopedi NU, saya mengusulkan dan memasukkan nama Guru Sekumpul sebagai lema. Usulan ini diterima bulat dan jadilah sosok Guru Sekumpul terpampang sebagai salah satu lema dalam ensiklopedi tersebut.
Menjadi NU sendiri tidak mesti memiliki kartu anggota atau menjadi pengurus. Demikian dengan Guru sekumpul. Dari segi ajaran yang diajarkan dan dikembangkan beliau adalah NU sejati. Pengaruh dan sumbangannya pun amatlah besar kepada ‘masyarakat NU’, bukan hanya di Kalimantan Selatan, tapi di lima penjuru Kalimantan, bahkan keluar Kalimantan.
Karena itu apakah namanya masuk dalam jajaran pengurus NU atau tidak, tidaklah penting bagi beliau. Demikian juga, andai tak dicantumkan dalam ensiklopedi, itu sama sekali tak mengurangi kebesaran namanya, seperti juga pencantuman itu tak menambah kebesaran namanya. Yang merasa berkepentingan dan untung tentu NU sendiri karena pencantuman itu memiliki makna simbolik yang dalam dan luas. (ayooha.com)
Penulis: Hairus Salim HS, aktivis NU; pendiri Yayasan LKiS
Artikel bagian ke-1 dari tulisan berjudul: “Gus Dur dan Guru Sekumpul: Sebuah Pertemuan”, dimuat di NU Online (nu.or.id)
Artikel juga pernah dimuat di : muslimoderat.com, gusdurian.net