MINGGU yang lalu saya pulang ke kampung halaman, Tabalong, sebuah kota kabupaten yang berada sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin (ibukota Propinsi Kalimantan Selatan). Dalam perjalanan dari Banjarmasin, kami singgah di sebuah warung makan di kota Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel). Seperti umumnya warung dan rumah Urang Banjar di kawasan ini, dinding warung ini dipenuhi poster foto-foto ulama.
Di antara puluhan poster foto itu, ada foto Tuan Guru Shohibul Fadhillah Al-‘Allimul ‘Allamah Al-‘Arif Billaah Al-Bahrul Ulum Al-Waliy Qutb Al-Mukarram As-syaikh KH Muhammad Zaini bin Al-‘Arif Billaah H Abdul Ghoni Al-Banjari atau biasa dipanggil dengan sebutan “Abah Guru Sekumpul” duduk bersila berhadapan dengan KH Abdurrahman Wahid, atau akrab disebut Gus Dur. Jika Guru Sekumpul mengenakan baju koko putih dan serban putih, maka Gus Dur mengenakan kemeja batik oranye dan peci hitam. Tangan kanan Guru Sekumpul berada di bahu Gus Dur. Jelas keduanya terlihat akrab dan dekat.
Pemasangan poster foto ulama adalah salah satu wujud penghormatan terhadap para ulama. Pemasangan poster Guru Sakumpul dan Gus Dur, menunjukkan penghormatan pemilik restoran pada sosok ulama tersebut. Dan sudah barang tentu ia berharap orang-orang, para pengunjung restorannya juga menghormati mereka berdua.
Poster foto itu mengingatkan saya pada kenangan sekitar seperempat abad yang lalu. Ketika itu Gus Dur datang ke Salatiga untuk menjadi pembicara dalam Konferensi Agama-Agama (KAA) yang digelar oleh PGI. Rupanya sehabis kegiatan itu Gus Dur berniat untuk mengunjungi puterinya, Alissa, mahasiswi Fakultas Psikologi UGM yang kala itu sedang KKN di Magelang. Gus Dur minta kepada kami, teman-teman di Yogya, untuk ditemani. Kebetulan saya waktu itu yang mendapat pesan panitia sedang tidak ada kegiatan. Jadilah saya yang menemani beliau.
Di dalam mobil Toyota Kijang milik panitia seperti biasa pula Gus Dur berbincang akrab. Bercerita tentang situasi politik, bertanya tentang perkembangan buku dan dunia intelektual dan tentu saja diselingi humor yang segar. Kadang suara Gus Dur lenyap karena tertidur, terdengar suara dengkur, tapi hanya sebentar, lalu kemudian terbangun lagi untuk melanjutkan perbincangan.
Tiba-tiba saja Gus Dur bertanya, siapa di Kalimantan Selatan sosok ulama yang sekarang sangat dihormati. Dengan spontan, saya menjawab “Tuan Guru KH Muhammad Zaini Bin H Abdul Ghoni.” Saya ceritakan bagaimana pengajian rutin yang diasuh beliau di sebuah kawasan kampung senantiasa dihadiri ribuan masyarakat dan bagaimana kampung itu, ‘Sekumpul’, kemudian dinisbahkan kepada beliau. Jadilah julukan akrabnya ‘Guru Sekumpul’.
Nisbat seseorang pada nama sebuah kampung jelas menunjukkan kelas ketokohannya. Dalam sejarah Islam di Kalimantan, ini disandang misal oleh ‘Datu Kalampayan’, gelar kultural-keagamaan bagi Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang membuka dan mengembangkan pengajaran Islam di kampung Dalam Pagar, di daerah Kalampayan pada abad 18. Sanad guru-murid Tuan Guru Sekumpul sendiri terhubung sampai Guru Kalampayan ini.
Gus Dur menyimak dan mendengarkan informasi yang saya sampaikan tersebut. Sembari diselingi beberapa pertanyaan mengenai detail yang tampaknya ingin beliau ketahui lebih lanjut.
Perbincangan itu mungkin berlangsung sekitar bulan April 1994. Langit politik Indonesia sedang kemarau karena protes dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto mulai bertumbuh dan menjamur luas. Dalam iklim yang panas itu, NU juga mengalami efek panas yang luar biasa karena Gus Dur –yang notabene Ketua Umum PBNU– merupakan sumbu penting suara-suara protes tersebut.